Setelah Internet, Kamu mau apa

by

in

Oke, kita perhatikan kemunculan internet. Aku tahu kelahiran internet dari tragedi, Perang Vietnam. Atau mungkin sepertinya jauh hari sebelum peristiwa ini, sepertinya perang dunia ke dua. Yang jelas hampir semua manusia di planet ini memanfaatkan teknologi ini, dan bahkan hidup dari teknologi ini, meskipun sejarah memberi tahu kita kelahirannya butuh adegan tragegi kemanusiaan.

Baiklah, sepertinya setelah internet, kebanyakan dari manusia tidak ada yang mengetahui. BlockChain, terdengar asing bagi manusia, mungkin beberapa sudah tahu hal ini. Belum lagi aku meceritakan Web3, aku rasa ketika menceritakan hal ini, hanya membuat kalian mengercitkan dahi, itu terserah anda. Seingatku dulu pernah mencerikan kemunculan teknologi BlocChain 2 tahun setelah kemunculannya. Aku tahu konsekwensinya, dan orang yang aku ceritakan hal ini mengira aku adalah orang punya masalah “mental”. Sepuluh tahun kemudian, orang-orang demam teknologi ini. Aku melihat mereka seolah-olah lupa dengan sikap mereka kepadaku. Syukurlah aku menyadari konsekwensinya.

Apa yang aku ceritakan ini semua, hanya sekedar memberi tahu anda bagaimana anda menjawab pertanyaan anda terhadap diri anda sendiri “Apa selanjutnya?”. Tentu aku tidak mempersoalkan tingkat kongnitif atau kecerdasan anda meskipun teknologi ini secara teknis membutuhkan kemampuan logika, matematika, algoritma, dan belum lagi keilmuan lainnya yang lebih terapan. Aku juga ingin tahu keputusan anda terhadap anda sendiri ketika mengetahui dan secara sadar adanya teknologi ini. Janganlah angkuh atas ketidaktahuan anda, itu hanya sekedar membuat ketidaktahuan anda menjelma menjadi ketakutan anda sendiri.

Pahamilah bahwa dunia ini dibangun dengan kumpulan wacana. Berusahalah agar tidak tenggelam dengan wacana yang ada, apapun itu. Ketika tenggelam, itu hanya membuat pikiran anda menjadi tawanan isu. Saranku kepada anda agar lebih logis, rasional, dan minimalisir emosional anda. Bukankah wacana juga didesain oleh manusia untuk menghegemoni manusia yang lain.

Teknologi ini telah ada dan di beberapa aspek kehidupan manusia telah diimplementasikan, sebagai mana halnya internet. Dari situlah wacana akan diproduksi secara masif oleh beberapa kalangan yang menguasai konsep dan teknisnya. Sederhananya atau contoh pihak yang memproduksi wacana adalah kasus yang ada pada dimensi kepercayaan atau agama, begitu pula aspek politik, ekonomi, dan budaya. Wacana bisa diproduksi dari aspek-aspek itu. Kenapa demikian, karena ada komponen ilmu pengetahuannya. Postulatnya adalah, ilmu pengetahuan memberikan solusi permasalahan manusia, karena mereka tahu bahwa manusia cenderung mempunyai naluri menghindari masalah. Atas dasar itu, pihak tadi berusaha mendahuli penguasaan ilmu pengetahuan itu, minimal konsepnya. Lalu, pihak itu sebaik mungkin membangun narasi dengan maksud agar semua orang di luar kelompoknya mengikuti narasi itu. Narasi-narasi yang telah mereka buat kemudian di sampaikan sebagai sebuah kebenaran versi mereka. Setelah kebenaran versi mereka telah terverifikasi secara empiris menurut metode buatan mereka, barulah mereka mengemasnya sebagai teori. Kemudian teori-teori yang mereka bikin digunakan untuk bahan membuat wacana. Wacana itulah yang dipakai sebagai tembok pelindung agar orang lain kesulitan memahami esensi ilmu dan pengetahuan secara berdaulat. Entah alasan standarisasi dan teori-teorinya, alih-alih upaya mengotorisasi sumber daya. Aku tidak kontra dengan konsep kepakaran, tapi alangkah baiknya kepakaran bersikap terbuka dan mau menyebarluaskan ilmu pengetahuan itu sejara fair play. Teori dan metodologinya bukan masalah, justru memberi jalan berkembangnya ilmu pengetahuan. Yang menjadi masalah adalah wacana yang diproduksi untuk kepentingan hegemoni. Sayangnya, situasi krusial seperti ini, anda memilih loncat ke comberan ketidaktahuan anda, itu sama saja anda mengijinkan diri anda dikendalikan pihak-pihak tadi.

Bukan sebuah rekomendasi untuk mempelajari secara teknis teknologinya bahkan menyuruh anda menjadi pakar di bidang ini. Tapi juga bukan sebuah larangan untuk mempelajarinya. Jika anda memiliki cukup waktu, aku rasa itu tidak masalah anda menguasai teknologinya, minimal konsepnya. Apa salahnya anda bertindak lebih awal menyadarinya, dari pada belakangan anda menyadari teknologi ini. Semakin lama anda tertinggal, semakin banyak pula tumpukan wacana yang perlu anda urai. Dan pada akhirnya anda lelah mengurai semua itu, jelas anda tersandra lagi oleh hegemoni pihak yang berkepentingan itu. Anda mungkin menyadari, umat manusia berkali-kali tejebak wacana, yang sangat nampak di aspek agama dan politik, meskipun peruntukan agama dan politik itu bukan untuk menjebak manusia. Perhatikanlah, bagiamana pihak yang berkempentingan memproduksi wacana untuk mengendalikan anda melalui ketidaktahuan anda. Jangan biarkan peradaban dipenuhi orang-orang yang tidak berdaulat secara pikiran.

Kecerdasan anda tidaklah cukup untuk menyelamatkan diri anda, apalagi anda sekededar merasa cerdas. Rekomendasiku, sebaiknya anda sadar diri tidak tahu apa-apa, tahu bahwa anda tidak tahu. Biasakan untuk berpikir kritis tapi orientasinya jangan dipakai untuk agar anda dianggap hebat dalam berintelektual, itu justru semakin menjebak anda. Jadi, keterbukaan anda adalah jawaban “Kamu mau apa?”.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *